Kamis, 26 Januari 2012

Catatan Perjalanan : Semeru, Dimana Maut Menjadi Kawan..(part III-habis)


Assalamualaikum wr.wb.
Pendakian hari ketiga..
Pada bagian ini merupakan bagian tersulit dari seluruh jalur pendakian yang dilewati, yaitu jalur Cemoro Tunggal – Mahameru. Kenapa ya toponimnya Cemoro Tunggal, belum saya ketahui pasti, tetapi dari artinya dapat kita tahu, “Cemoro Tunggal” berarti pohon cemara yang hanya satu. Kenapa hanya satu, karena dilihat dari kondisi daerahnya sudah berpasir semua dengan lereng sangat curam, sehingga tidak ada pohon lain selain pohon cemara itu. Dari Cemoro Tunggal kita tidak bisa melihat puncak Mahameru karena lerengnya yang curam dan membentuk semacam kubah (dome) dengan material piroklastik berupa pasir, batu dan abu. Berdasarkan tipenya, Gunung Semeru merupakan gunung api tipe maar (debu), sama seperti Gunung Bromo, sehinggga material yang dikeluarkan lebih bersifat kering berupa gas, abu, pasir dan batu. Sebagai pembanding adalah gunung Merapi yang merupakan tipe strato yang mengeluarkann material yang sama, bedanya terdapat juga lava pijar cair. Setidaknya itu yang saya ingat waktu kuliah. (CMIIW).
Pelan tapi pasti kamipun menempuh jalur pendakian terakhir, sudah dibayangkan berjalan merangkak dijalur berpasir curam sangatlah melelahkan, tiga langkah naik- satu langkah turun, begitu seterusnya sambil merangkak. Formasi pendakianpun harus diatur sedemikian rupa agar teman yang berada dibawah kita tidak terkena batu atau longsoran yang kita lewati. Petunjuk yang terlihat hanya tanda kecil yang mungkin dibuat oleh pendaki sebelumnya yang menunjukkan tempat tersebut aman untuk dipijak, alias tidak longsor. Longsor akan sangat berbahaya karena ketika terjatuh tidak ada poin untuk berpijak, kecuali beberapa tempat yang terdapat batu besar.
Karena beratnya medan, bekal logistik yang kita bawa pun kami lepaskan dan tinggalkan begitu saja di jalur untuk memudahkan pendakian. Hingga tanpa kami sadari, air minum yang berperan vital juga ikut kami tinggalkan ditengah jalan. Tersisalah kami dengan dengan kondisi haus dan kelelahan meneruskan pendakian dengan merangkak. Hebatnya salah satu teman kami berpuasa, tetapi malah beliau yang leading didepan, luar biasa. Ditengah pendakian yang kurang beberapa puluh meter lagi kami sempat sangat kelelahan dan hampir putus asa, selain itu waktu sudah menunjukkan pukul 07.00, waktunya untuk segera turun. Karena teman kami yang satu orang sudah tidak kelihatan, maka kami berdua bertekad untuk menyusulnya keatas dan mengingatkannya untuk segera turun. Karena kenekatan itulah akhirnya kami bertiga bisa mencapai puncak Mahameru. 3.676 mdpl. Subhanallah, Allahu Akbar, sujud syukur langsung kami haturkan pada-Mu Ya Allah.
Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati..
Begitu menemukan teman kami di puncak, kami langsung memasang bendera, kemudian bergegas turun karena sampai dipuncak sudah pukul 07.30. Karena medan yang curam, kami turun dengan berlari dan merosot dengan kecepatan tinggi. Waktu tempuh naik selama 2,5 jam sedangkan turun kembali sampai Cemoro Tunggal hanya 0,5 jam!. Begitu sampai di Cemoro Tunggal, kami langsung turun menuju shelter di Kalimati, begitu sudah pagi baru kami lihat jalur pendakian kami semalam, ternyata sangat membahayakan, dimana terlihat bekas longsor pada malam sebelumnya. Di perjalanan turun banyak kami temukan tugu peringatan akan kematian para pendaki, beberapa diantaranya mayatnya tidak ditemukan. Sejenak sayapun berpikir, seandainya terjadi apa-apa pada kami, bisa jadi mayat kami tidak dicari, karena kami termasuk pendaki “ilegal” yang tidak menghiraukan jalur pendakian yang ditutup. Pun kami tidak menemukan satupun rombongan pendaki lain selama perjalanan.
 Kira-kira pukul 09.30 sampailah kami di shelter Kalimati, alhamdulillah barang kami masih aman tersimpan disana. Kami memutuskan untuk istirahat dulu sambil memasak bekal sebelum melanjutkan perjalan ke Ranupane. Pada saat itulah kami mendengar suara menggelegar seperti guntur dipagi yang cerah itu, sontak kamipun keluar shelter dan mendapati puncak Semeru tengah mengeluarkan material berupa gas, abu, pasir dan batunya. Pemandangan tersebut membuat kaki lemas, dititik itulah saya merasakan kematian itu begitu dekat. Ditengah kepanikan itu salah seorang teman kami meneriakkan takbir,,Allahu Akbar!! Allahu Akbar!! itu yang membuat saya kagum pada beliau. Luar biasa kuasa Allah itu, kalau Allah mau maka saat itu pula Allah akan mengambil nyawa kami. 
Numpang di rumah penduduk..
Melihat dahsyatnya material piroklastik yang seakan mengarah kearah kami, kamipun bergegas berkemas untuk turun menuju Ranupane dengan kecepatan tinggi, letih dan kaki yang sakit tidak kami rasakan, bisa kembali dengan selamat sudah merupakan anugerah luar biasa. Pendakian ke puncak yang kami tempuh dalam dua malam itu kami bayar dengan turun kembali dalam 8 jam saja dari Kalimati – Ranupane, dengan cuaca hujan saat itu. Begitu sampai didekat permukiman bukan main kami sangat bahagia dan bersyukur, tiba dengan selamat dan menemukan peradaban kembali. Alhamdulillah. Begitu sampai di bawah kamipun mencari tumpangan menginap dirumah warga pada malam itu, alhamdulillah kami diterima dengan sangat baik walaupun dirumah yang sangat sederhana. Keluarga itu mempersilakan kami untuk tidur dikamar utamanya dan menyuruh anaknya untuk tidur di tempat kakeknya. Kebaikan yang mungkin sulit kita temukan sekarang ini di lingkungan kita.
Hari keempat, turun gunung..
Esok paginya barulah kami tahu bahwa rumah yang kami tinggali berada ditengah kebun loncang yang luas dan indah. Penduduk beratanam kol, loncang dan kentang di lereng Semeru. Penduduk lereng gunung Semeru terdiri dari beberapa agama, ada agama islam, hindu dan kristen, mereka hidup berdampingan dengan damai. Ketika kami berada di Ranupane kebetulan saat itu sedang berlangsung hari raya Karo, hari raya yang diperingati oleh warga yang beragama hindu di Bromo maupun di Semeru. Pada saat hari raya Karo, sekolah diliburkan selama seminggu. Hari Raya Karo secara adatnya hampir seperti Hari Raya Idul Fitri, dimana para penduduk bersilaturahim ke tetangganya. Adat yang harus dijaga adalah ketika bertamu maka kami harus makan besar, jadilah kami sebelum kembali ke Malang makan tiga kali, karena ditawari singgah di tiga rumah. Bagi yang beragama islam dimohon untuk hati-hati ketika makan hasil sembelihan, karena merupakan hasil sembelihan orang hindu. Saat itu kebetulan salah satu teman kami sendiri yang memotong ayamnya, sehingga kamipun tidak ada keraguan dalam memakannya.

View di kebun sayur...
 Setelah berkemas, kamipun kemudian turun ke Malang, kebetulan ada truk yang mengangkut sayur turun menuju ke Malang, kamipun menumpang truk tersebut. Jalur yang dilewati merupakan jalur satu-satunya, ketika perjalanan kami terganggu akibat adanya kegiatan evakuasi mobil off road yang jatuh ke jurang, setelah menunggu beberapa jam akhirnya perjalananpun berlanjut, akhirnya kami sampai di Malang. Dari Malang kami melanjutkan perjalanan dengan kereta lagi, karena sudah sore, kereta terakhir hanya sampai Blitar pada malam harinya. Terpaksa malam itu kami menginap di Blitar walaupun sudah sangat ingin kembali ke Jogja. Perjalanan kami waktu itu sudah 6 hari, tentunya keluarga sudah khawatir dengan pendakian yang terlalu lama tersebut. Mencari tempat menginap di Blitar juga tidak mudah, dengan anggaran cekak kamipun memutuskan untuk menginap di masjid agung Kota Blitar. Karena malam itu masjidnya sudah tutup, salah satu teman kami nekat meloncat pagar untuk menemui takmir masjid, dengan marah-marah dan kami harus meninggalkan KTP akhirnya kami diperbolehkan menginap di masjid. Pada saat itu ada yang menawari kami menginap di kantor bupati, karena bertepatan dengan gunung Kelud yang meletus pada waktu itu, kantor bupati menjadi basecamp relawan, tetapi kami menolaknya.
Esoknya kami melanjutkan naik kereta ke Jogja, pada sore harinya alhamdulillah kami sampai Jogja dengan selamat. Kabar pendakian kami sudah menyebar ke teman-teman, banyak yang mengkhawatirkan keberadaan kami termasuk keluarga. Kebetulan saat itu Fakultas Geografi UGM sedang berduka berkaitan dengan meninggalnya salah satu rombongan dosen yang sedang berada di Thailand akibat kecelakaan kapal. Maut memang rahasia Allah, kehidupan ini merupakan anugerah darinya, oleh karen aitu pergunakanlah dengan sebaik-baiknya, jangan sia-siakan hidup yang kita punya, perbanyaklah kebermanfaatan bagi sesama. Yah, begitulah pengalaman yang saya alami di Gunung Semeru, banyak pelajaran yang kami dapatkan, dan juga pengalaman yang menakjubkan.
Wassalamualaikum wr.wb.

2 komentar: